Seorang muslim/muslimah dalam menjalani aktivitas sehari-hari pastinya berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Umat Islam oleh Allah disebut juga sebagai umat pertengahan, mengapa demikian? Hal ini dikarenakan, umat Islam mampu menyeimbangkan dan meratakan amal dalam seluruh aspek kehidupan ini. Sesuai dengan firman Allah SWT, sebagai berikut:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Q.S. Al-Baqarah: 143)
Umat Islam menjadi umat pertengahan dan saksi bagi umat yang lainnya karena memiliki beberapa kelebihan, di antaranya:
- seimbang antara ilmu dan amal
Umat Islam dalam menjalankan aktivitas kehidupannya diperintahkan oleh Allah untuk dapat menyeimbangkan antara ilmu dan amal, tidak boleh umpamanya hanya menekankan pada ilmu saja, tanpa diimbangi dengan amal perbuatan yang nyata.
- seimbang antara rasa takut dan harapan
Seorang muslim dalam menjalani kehidupannya tidak boleh selalu diliputi oleh perasaan takut terhadap dosa-dosa yang selama ini dikerjakan secara berlebihan, sehingga menimbulkan rasa putus ada terhadap rahmat Allah. Sebaliknya pula, seorang muslim juga tidak boleh berlebihan dalam mengharap rahmat dan ampunan Allah, sehingga meremehkan dosa-dosa yang selama ini dikerjakan, bahkan menganggap enteng dosa yang telah dilakukannya.
Seorang muslim yang baik dapat menggabungkan antara rasa takut akan siksaan Allah dan dalam waktu yang sama mengharap rahmat serta ampunan dari Allah.
- seimbang di dalam menjalankan ajaran agama, sehingga tidak bersikap berlebihan (ifrath) dan juga tidak bersikap meremehkan (tafrith)
Seorang muslim di dalam menjalankan ajaran Islam, tidak boleh melampaui batas dari apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya. Hadist yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, bahwasanya dia berkata:
“Ada tiga orang mendekati rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata,”Ibadah kita tak ada apa-apanya disbanding Rasulullah SAW, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata,”Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya.” Kemudian yang lainnya berkata,”Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka.” Dan yang lain lagi berkata,”Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.” Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka seraya berkata: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.” (HR. Bukhari, no: 4675)
- keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat
Seorang muslim yang baik, dituntut untuk memikirkan dan mempersiapkan diri mencari bekal yang akan dibawanya kea lam akhirat kelak, dan di waktu yang sama tidak boleh melupakan keberadaanya di dunia.
Referensi: www.ahmadzin.com; Majalah PUSQIBA. “Keseimbangan dalam Hidup Muslim”. Edisi 96, Tahun XIV/Januari 2017.; “pengubahan dari penulis”